Table of Contents
Cita-cita Denok Marty Astuti sederhana saja, dia ingin agar Kota Solo, tempat tinggalnya, menjadi kota yang bersih, asri, dan bebas sampah. Bertumpu pada cita-cita itu, perempuan paruh baya tersebut pada 2015 memutuskan pulang dari perantauannya di Jakarta dan kembali ke Solo. Dia keluar dari pekerjaan yang telah digelutinya selama 12 tahun di sebuah perusahaan skala nasional yang berkantor di Jakarta.
Langkah pertama yang dia lakukan adalah mendatangi Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Solo untuk mengurus sampah-sampah di sana. Dia menilai, di sana ada potensi yang bisa digarap dari sampah. “Saya memaparkan ide untuk mengolah sampah sisa makan untuk menjadi kompos plus membuat kerajinan tangan (dari sampah anorganik) dari para tahanan,” kata Denok saat disambangi Kompas.com di rumahnya di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, Kota Solo. Gayung bersambut, Kepala Rutan saat itu mempersilakan Denok untuk memberdayakan warga binaan Rutan Kelas I Solo membuat kerajinan dari sampah koran dan membuat kompos dari sampah organik. Tak cukup sampai di situ, Denok juga mengampanyekan pemilahan sampah bersama komunitas peduli lingkungan bernama Gerakan Orang Muda Peduli Sampah dan Lingkungan Hidup Soloraya (Grophes). Kampanye dilakukannya setiap hari Minggu dalam kegiatan car free day (CFD) di ruas Jl Slamet Riyadi, Solo.
Bank Sampah Pertama
Rupanya kampanye di CFD saja tidak cukup. Dia dan beberapa kawan dari Grophes memutuskan untuk mengunjungi satu per satu kelurahan yang ada di Solo. Beberapa orang menyambut baik, yang lain tidak terlalu mengindahkan. Sosialiasinya sebatas membuat kerajinan dari sampah anorganik. Lambat laun, tercetuslah ide membentuk bank sampah. “Dari situ baru mikir membentuk bank sampah. Kalau bank sampah, sampah yang masuk sudah harus diplah. Anorganik masuk, disetor, timbang, kemudian langsung diangkut jadi cuan (untung). Sampah organiknya dijadikan kompos,” ucap Denok. Bank sampah pertama yang diinisiasi Grophes akhirnya terbentuk di RW 13 Kelurahan Pucangsawit.
Dari keberhasilan itu, pengalaman pengelolaan bank sampah menyebar dari mulut ke mulut. Denok akhirnya fokus untuk mengedukasi dan menginisiasi terciptanya bank sampah di tempat-tempat lain. Pelan tapi pasti, selama delapan tahun berjalan, sudah ada 150 unit bank sampah yang tersebar di berbagai kelurahan di Solo. Masing-masing memiliki nama sendiri. Unit bank sampah tersebut bermacam-macam, mulai dari satu RW, beberapa RT, bahkan beberapa RW, tergantung kesepakatan para nasabah dan pembentukan pengurus. Pada awal tahun 2023, terbentuklah bank sampah induk bernama Bank Sampah Induk Kerja Nyata. Kehadirannya untuk mengoordinasi bank sampah-bank sampah unit sekaligus melebarkan sayap ke daerah lain. Denok ditunjuk sebagai direkturnya.
Kendala Bukan Hambatan
Salah satu kendala dalam mengembangkan bank sampah adalah ketersediaan lahan. Biasanya, bank sampah memerlukan area yang cukup luas untuk menampung sampah dan armada pengangkut. Akan tetapi, kendala lahan diatasi dengan cara memanfaatkan tempat yang ada seperti pos kemanan lingkungan sebagai bank sampah portable. “Solo enggak punya (banyak) lahan. Tapi kami harus bergerak meski kita tidak punya lahan. Lalu warga setor sampah, di mana? Bisa di dumah Pak RT, posyandu (pos pelayanan terpadu) , poskamling, di bawah pohon beringin, rumah pak RW, semua bisa dipakai (menjadi) bank sampah,” papar Denok. Sementara itu, untuk mengatasi kendala armada pengangkut, jaringan bank sampah tersebut telah bekerja sama dengan pengepul sampah untuk mengambil sampah dari bank sampah. Biasanya, bank sampah unit beroperasi setiap dua pekan sekali dengan jam kerja selama dua jam.
Dalam kurun waktu itu, para nasabah menyetorkan sampah anorganik yang sudah dipilah, ditimbang, dihitung nilainya, dan dicatat di dalam buku tabungan bank sampah. Setelah semua sampah terkumpul, armada dari pengepul datang untuk mengangkutnya. Di dalam buku tabungan nasabah bank sampah, jenis sampah yang disetor bervariasi mulai dari botol plastik, koran, kertas HVS, botol kaca, karung beras, hingga besi dan tembaga. “Harga (sampahnya) bervariasi, mulai dari Rp 200 (per kilo) untuk botol kaca hingga Rp 16.000 (per kilo) untuk besi,” ujar Denok. Denok menerangkan, transaksi dari 150 bank sampah bisa mencapai rata-rata Rp 60 juta sampai Rp 75 juta per bulannya.
Militan
Hadirnya bank sampah tak lepas dari para sukarelawan dan pengurus yang militan dalam menjalankan program tersebut. Denok menuturkan, setiap pengurus dan sukarelawan bank sampah unit sangat bersemangat dalam menjalankan tugasnya. “Mereka militan banget mengurusi (bank) sampah. Ada keriuhan yang terselubung,” kata Denok. Berkaca dari hal tersebut, semangat dari mereka perlu tetap dijaga agar terus berkobar dan diturunkan ke generasi selanjutnya. Denok berharap, ada semakin banyak bank sampah yang tercipta di masyarakat agar permasalahannya rampung di level hulu.
“Semua harus bergerak karena kita tidak ingin ada bom waktu yang meledak (bernama masalah sampah),” ucapnya. Terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Kota Solo Arthaty Mulatsih mengatakan, keberadaan bank sampah tersebut berkontribusi positif terhadap upaya pengurangan sampah dari hulu. “Karena bank sampah menjadi wadah bagi masyarakat yang sudah melakukan pengelolaan sampah,” ujar Arthaty saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/8/2023). Dia menambahkan, bank sampah memberikan nilai tambah, baik dari sisi sirkular ekonomi maupun dari sisi peningkatan kemampuan dan ketrampilan masyarakat.
Penulis : Danur Lambang Pristiandaru